Seringkali kita temui adanya
pendapat yang menyatakan bahwa belajar sains murni misalnya matematika, kimia,
fisika, maupun biologi pada Fakultas MIPA memiliki masa depan pekerjaan yang
lebih buruk daripada belajar ilmu pendidikan matematika, misalnya, pada
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Hal itu mungkin didasarkan oleh kondisi
di Indonesia sendiri. Seperti yang kita ketahui, selama ini peneliti di
Indonesia kurang begitu mendapat perhatian jika dibandingkan dengan
peneliti-peneliti di Negara lain.
Seorang
ekolog misalnya, di Indonesia profesi tersebut masih kalah tenar jika
dibandingkan dengan dokter, dosen, pengusaha, atau bahkan juga guru. Padahal,
dengan kekayaan alam Indonesia yang begitu berlimpah, kita memerlukan
ekolog-ekolog yang dapat membantu menjaga kelestarian lingkungan alam Indonesia
agar tidak semakin rusak. Apadaya, masyarakat Indonesia selama ini masih sangat
kurang menghargai peneliti-peneliti yang dengan gigih berusaha menciptakan
terobosan-terobosan baru di berbagai bidang. Oleh karena itu, setiap mahasiswa
jurusan matematika, kimia, fisika, biologi, dan ilmu alam lainnya pasti akan
ditanya di mana jurusan tersebut bisa mengantarkannya ke suatu profesi yang
bergengsi.
Bandingkan
dengan mahasiswa-mahasiswa yang belajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Secara awam sudah dapat diketahui bahwa mereka nantinya akan
menjadi guru. Apalagi sekarang ini guru sudah mendapatkan kelayakan jaminan
kehidupan yang lebih tinggi. Adanya kanaikan anggaran pendidikan sebesar 20%
pada APBN juga berimbas pada peningkatan kesejahteraan guru. Maka dari itu,
memang tidak dapat disalahkan bilamana sama-sama belajar biologi, misalnya,
seseorang akan lebih memilih belajar pendidikan biologi daripada biologi murni.
Bahkan tidak sedikit pula lulusan FMIPA, seorang sarjana Sains yang mengambil
akta IV agar mendapatkan izin untuk mengajar.
Adakah
di antara kita yang pernah mengalami suatu dilema mengenai pilihan antara
keguruan dan sains murni? Misalnya, seorang calon mahasiswa diterima di dua
perguruan tinggi yang berbeda dengan dua jurusan yang sama. Perguruan tinggi
yang pertama menerimanya di FKIP sedangkan perguruan tinggi yang kedua, yang
notabene memiliki reputasi dan kualitas yang lebih baik daripada PT yang pertama,
menerimanya di FMIPA, dengan studi yang sama. Calon mahasiswa tersebut pastinya
tidak mudah untuk menentukan pilihan meskipun kualitas PT kedua jauh di atas PT
pertama. Calon mahasiswa tersebut pastinya akan memikirkan sampai jauh ke
depan, memikirkan peluang-peluang yang bisa didapatkan setelah lulus,
membandingkan kesempatan yang lebih besar untuk bekerja nantinya, dan
sebagainya. Jalan mana yang akhirnya di pilih, tidak hanya bergantung dari nama
besar PT kedua melainkan pada pertimbangan-pertimbangan jauh ke depan.
Tidak
pernah rasanya kita mendengar anak kecil menjawab matematikawan, kimiawan,
fisikawan, ataupun biolog saat ditanya apa cita-citanya kelak. Mereka akan
lebih memilih dokter, pilot, guru, ataupun yang lain, profesi-profesi yang selama
ini memang lebih keren di telinga. Masyarakat Indonesia memang lebih familiar
dengan ilmu-ilmu terapan seperti kedokteran, pertanian, teknologi pangan,
maupun teknik dibandingkan dengan ilmu-ilmu dasar di mana semua ilmu terapan
tersebut berakar. Mungkin hal itulah yang menjadikan perkembangan Indonesia di
bidang penelitian yang masih kurang dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Banyak sekali
kita dengar adanya penemuan spesies hewan maupun tumbuhan baru di Indonesia.
Tetapi, apakah kita pernah tahu bahwa sebagian besar penemuan itu justru lahir
dari peneliti non-Indonesia? Yah, mungkin sekarang ini sudah saatnya kita mulai
berbenah. Mulai membenahi rasa cinta kita kepada Indonesia, rasa kepemilikan
kita terhadap alam Indonesia, dan rasa penasaran kita untuk melakukan
penelitian dasar untuk menunjang ilmu-ilmu terapan lainnya. Mari mulai kita
tingkatkan penghargaan kita pada peneliti-peneliti Indonesia agar beliau-beliau
tidak memilih untuk mengabdi di negeri orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar