“Tentang kopi kesukaanmu, cappuccino, kopi itu
bukan dari Italia. Aslinya berasal dari biji-biji kopi Turki yang tertinggal di
medan perang di Kahlenberg. Hanya sebuah info pengetahuan kecil-kecilan.
Assalamu’alaikum,” ujar Fatma sambil mencolek pipiku. Dia memunggungiku lalu
meninggalkanku.
Itulah
sedikit cuplikan dari novel karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
yang berjudul “99 Cahaya di Langit
Eropa: Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa.” Novel ini merupakan karya
kedua dari Hanum Salsabiela rais dan kali ini Hanum menggandeng suaminya,
Rangga Almahendra sebagai penulis kedua.
Secara garis besar, penulis menceritakan pengalaman-pengalamannya selama 3
tahun menemani sang suami belajar dan tinggal di Wina, Austria. Pengalaman
apakah yang dituliskan? Tidak, novel ini tidak seperti novel-novel tentang
Eropa lainnya. Novel ini membuka mata kita bahwa Eropa bukan hanya tentang
Eiffel di Paris, Danube di Wina, ataupun Colloseum di Roma. Lebih dari sekedar
itu. Dalam novel ini, penulis mengupas lebih dalam rahasia-rahasia yang
tersimpan di benua biru itu.
Novel
ini dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu bagian I Wina, bagian II Paris, bagian
II Cordoba dan Granada, dan bagian IV Istanbul. Di setiap bagian tersebut, penulis
bercerita mengenai kunjungannya ke tempat-tempat bersejarah di kota tersebut.
Namun, bukan wisata biasa yang akan kita nikmati di novel ini, melainkan wisata
rohani yang akan lebih mengingatkan kita seberapa besar kekuasaan Islam di
Eropa pada masa lalu. Kita akan banyak dibuat tercengang tentang
rahasia-rahasia yang diungkapkan penulis dalam novel ini. Misalnya saja,
sudahkah kita tahu bahwa dalam sejarah
Wina, Kara Mustafa disebut “Er war ein
Mörder” (Dia adalah seorang pembunuh).
Novel
ini akan mengajak kita mengetahui sejarah peradaban Islam di Eropa, apa saja
peninggalannya, bagaimana besarnya pengaruh Islam di kala itu, dan apa yang
sekarang masih tersisa dari peradaban tersebut. Gaya bahasa yang ringan membuat
kita serasa ikut dalam perjalanan Hanum menapaki peninggalan-peninggalan Islam
di tempat-tempat yang ia kunjungi. Penulis membawa kita untuk bisa merasakan
apa yang ia rasakan saat mengetahui fakta-fakta sejarah mengenai Islam di Eropa
yang seringkali sangat menyentuh perasaan terdalamnya sebagai seorang muslim.
Sering juga penulis menyisipkan pengetahuan-pengetahuan baru yang dapat
memperkaya wawasan kita.
Penulis
mengajak kita berkeliling ke Kahlenberg, Wien
Stadt Museum, dan Vienna Islamic Centre yang semuanya terletak di
Austria. Di Perancis, ia mengajak kita berkeliling ke Section Islamic Art Gallery di Musee
de Louvre, Arc de Triomphe du
Carrousel, Le Grande Mosquee de Paris,
Notre Dame, dan mengetahui apa itu Axe Historique. Penulis juga mengajak
kita mengunjungi Spanyol, di antaranya ke Mezquita
di Cordoba dan Al-Hambra di Granada. Serta,
di bagian terakhir, yaitu Istanbul, Turki, ia mengajak kita ke Blue Mosque dan Hagia Sophia sebelum akhirnya mengajak kita bersama-sama merenung
tentang siapa kita, Tuhan kita, dan hidup kita saat ia berkunjung ke rumah
Allah di Mekah, Arab Saudi. Pengalaman-pengalaman berharga yang diceritakan penulis
dalam novel ini juga akan memberikan pengalaman baru bagi pembaca untuk lebih aware terhadap sejarah Islam yang begitu
besarnya di Eropa pada masa Kesultanan Ottoman dulu.
“Nasib Hagia Sophia
berkebalikan dengan Mezquita di Cordoba. Hagia Sophia adalah Katedral Byzantium
terbesar di Eropa yang kemudian menjadi masjid. Masjid itu memajang kaligrafi
Allah, Muhammad, serta kalimat-kalimat ayat suci, tetapi tetap membiarkan
lukisan-lukisan Yesus dan Maria serta elemen-elemen kekristenan bertengger di
sana.”
Novel
ini mengajak kita untuk lebih menghargai sejarah dan menghilangkan semua dendam
masa lalu agar kita, umat manusia, dapat bahu membahu menciptakan toleransi dan
kepedulian antar sesama tanpa memandang lagi sakit hati di masa lalu. Dengan
begitu, bumi pasti akan terasa lebih nyaman untuk ditinggali oleh seluruh umat
dari golongan dan bangsa apapun. Selamat Membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar