Tidak
tahu kenapa, tiba-tiba akhir-akhir ini saya lebih sering berpikir mengenai
hidup. Mengenai saya dan orang-orang di sekeliling saya. Teman-teman saya
mengajarkan banyak hal kepada saya, pun begitu orang-orang yang tidak saya
kenal sebelumnya. Hari ini, Sabtu, 13 April 2013, saya menyelesaikan satu buku
yang (lagi-lagi) mampu memaksa saya untuk meneteskan air mata saat membacanya.
Bagian yang paling membuat air mata mengalir adalah saat penulis mengisahkan
bagaimana perasaannya ketika tawaf wada’ di Ka’bah. Dari situ saya berpikir,
dan otomatis berdoa, semoga saat saya diberikan rejeki untuk ke tanah suci
besok, saya diberangkatkan pada waktu dan bersama orang terbaik.
Pemikiran saya tidak berhenti sampai
di situ. Seorang sahabat mengirimkan pesan pendek pada saya. Beliau berkata
(yang sangat saya anggap doa), “Harus berjuang terus, biar sukses seperti
kamuuu.” Saya benar-benar hanya bisa meng-Aamiin-i apa yang sahabat saya katakan.
Dari situ, pikiran saya lagi-lagi melayang. Bagaimana bisa, saya yang seperti
ini, bahkan berdiri dengan kaki sendiri saja belum bisa, dianggap sukses?? Di
lihat dari sisi mana?? Tapi ya sudahlah, anggap saja itu sebagai doa. Terima
kasih dude. :D Dan tentu saja saya diingatkan untuk bersyukur oleh Allah lewat
ucapan sahabat saya tersebut. Karena semakin kita bersyukur, maka akan semakin
besar nikmat dan karunia-Nya.
Sungguh kata-kata memang bisa sangat
mempengaruhi saya. Mungkin saya memang bukan seorang yang pintar berkata-kata.
Dilahirkan dan dibesarkan sebagai salah satu bagian dari Asia memang membuat
saya bertumbuh seperti layaknya orang Asia lainnya. Tidak terbiasa menyampaikan
ide-ide. Cenderung lebih nyaman menuliskan kata daripada mengucap kata. Ya,
mungkin tidak semua orang Asia seperti itu. But,
Asian is in my blood. So, I would rather
be silent than speak too much. Itulah mungkin yang membuat saya sulit
tertebak. Namun, terkadang itu mengasikkan saat saya memang sedang butuh
memendam sesuatu. Orang-orang seperti saya akan cenderung lebih pandai
menyimpan rasa apapun.
Kembali ke konteks awal, mungkin
saya termasuk salah satu pemuja kata yang seringkali menuntun saya pada sebuah
pemikiran. Saya tidak mudah melupakan apa yang orang-orang sampaikan ke saya,
termasuk janji yang pasti akan selalu saya ingat jika belum tertunai. Kata-kata
memang refleksi hati, bahkan refleksi diri. Jadi, berhati-hatilah dalam
berkata-kata. Berhati-hatilah dalam mengucap janji. Terutama pada pengingat
seperti saya. Bukan apa-apa, tapi saat kita berusaha untuk menepati janji kita,
pasti kita juga akan berharap orang-orang menepati janjinya pada kita. See?? So do I. Dari situ saya belajar
untuk memahami bahwa tidak semua yang kita inginkan akan berjalan sesuai
keinginan kita. Ada banyak factor dalam hidup ini yang seringkali membuat kita
berpikir adanya ketidakseimbangan dalam take
and give dalam hidup kita. Tapi,
bukankan dari situlah Allah mengajari kita ilmu ikhlas??
Mari saya tunjukkan kenapa akhir-akhir
ini saya menjadi lebih sering berpikir mengenai hidup, bahkan saat saya
menggosok gigi malam tadi, saya menghabiskan waktu lebih lama karena saya pun
berpikir saat itu (yang ini memang saya merasa nyaman berpikir saat menggosok
gigi). :D Pemikiran saya tentang hidup selalu bermula dari kata-kata, entah itu
yang terucap dari mulut teman atau sahabat saya, maupun kata-kata yang teruntai
dalam lembaran-lembaran buku yang saya baca. Kata per kata yang saya baca atau
dengar, sedikit banyak akan melekat dalam pikiran saya.
Saya teringat beberapa malam yang
lalu, saat saya mengingatkan seorang teman yang jam biologisnya kacau. Selalu
tidur setelah lewat dini hari. Di saat itu pula saya seperti mengeluarkan
kata-kata untuk diri sendiri saat teman saya balik bertanya apakah jam biologis
saya tidak kacau. Dia mengingatkan saya bagaimana kebiasaan saya bangun tengah
malam setelah hanya tidur 2-3 jam dan akan bertahan sampai pagi. Saat teman
saya tersebut bertanya apakah yang saya biasa lakukan saat bangun di tengah
malam tersebut, jujur saya sedikit terhenyak. Dan saya berpikir. Apa yang
benar-benar saya lakukan di malam-malam saya biasanya. Ya, saya menjawab dengan
gurauan bahwa saya biasanya membaca, nonton TV, atau online (ini benar adanya) saat saya bangun di tengah malam yang
sunyi. Tapi memang tidak jarang pula saya bangun untuk menyelesaikan tugas
ataupun belajar untuk ujian.
Obrolan itu sedikit banyak
mengantarkan saya pada pemikiran, sudahkah saya melakukan hal yang benar saat
saya dengan sukarela mengorbankan jam tidur saya yang seharusnya sangat
menyenangkan itu? Seorang Ustadz berkata bahwa malam yang panjangnya 12 jam
memiliki 3 bagian. Pada 4 jam pertama (18.00-22.00) adalah waktu untuk belajar
sebanyak-banyaknya, 4 jam kedua (22.00-02.00) adalah waktu untuk memenuhi hak
istirahat tubuh, dan 4 jam ketiga (02.00-06.00) adalah waktu untuk hak untuk beribadah.
Saya mengingat kembali. Biasanya saya terbangun di jam-jam 12.00 atau 01.00
tengah malam dan itu masih di 4 jam yang kedua. Saat di mana seharusnya saya
masih terlelap. Tapi tidak bisa, jujur. Ya, saya menyerah, sepertinya jam
biologis saya perlu diperbaiki.
Dan alih-alih melakukan hal yang
tidak bermanfaat di malam-malam saya, kini saya bisa sedikit lebih produktif
dengan memanfaatkan segarnya otak saya di waktu malam untuk menyelesaikan
sesuatu atau untuk sekedar menimbang baik buruknya sesuatu yang akan, sedang,
ataupun telah saya lakukan. Termasuk menimbang bagaimana interaksi saya dengan
orang-orang di sekeliling saya. Mungkin saya memang belum bisa menjadi teman, sahabat,
atau sekedar classmate yang baik.
Tapi, dari pemikiran-pemikiran saya di setiap malam, saya terus berusaha untuk
memperbaiki diri. Saya akan berusaha untuk lebih ikhlas dalam setiap ucapan
maaf yang saya lontarkan serta lebih ikhlas dalam setiap keputusan memaafkan
yang saya lakukan. Allah saja Maha Pengampun, lalu siapa saya hingga berani
untuk tidak memaafkan setiap salah? Padahal saya sendiri masih bergelimang
kesalahan.
*pemikiran
(lagi-lagi) di tengah malam yang sunyi, sepi, sendiri. :D